Refleksi Kebangkitan Nasional
Historiografi Negara kita mencatat peristiwa yang merupakan tonggak kebangkitan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ya, peristiwa itu adalah kebangkitan nasional, yang terjadi seabad lampau pada 20 Mei 1908. Budi Utomo disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan nasional, diprakarsai oleh mahasiswa kedokteran STOVIA yaitu Soetomo dan beberapa tokoh lain yang rata-rata memiliki latar belakang golongan "priyayi" terpelajar. Perkumpulan tersebut akhirnya, disebut-sebut, telah memberikan inspirasi terhadap gerakan-gerakan pro-kemerdekaan.
Perbedaan Historiografi mengenai sejarah kebangkitan nasional memang sangat penting untuk kita kaji, mengutip kata-kata Mr. Sjafruddin Prawiranegara (almarhum), mantan Presiden PDRI- “ Sejarah adalah pedoman untuk membangun masa depan”. Tapi untuk saat sekarang ini kiranya kurang tepat untuk mempermasalahkan hal itu karena selain kontra produktif, menemukan hikmah kebangkitan nasional akan lebih bermanfaat.Ada beberapa hikmah yang bisa kita jadikan inspirasi dari sejarah munculnya kebangkitan nasional.
Ø Pertama, munculnya kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa untuk melawan segala tekanan dari pihak luar. Kesadaran kolektif tersebut pada waktu itu membuat perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda menjadi lebih rapi dan terorganisasi dan meninggalkan sentimen-sentimen kesukuan dan kedaerahan.
Jika ditarik kepada realitas sekarang, semangat tersebut sangat diperlukan ditengah semakin rapuhnya kesadaran kolektif itu. Akrobatik politik para elite, terutama pada pasca pemilu legislatif kemarin, sangat kental mengutamakan kepentingan golongannya masing-masing.
Ø Kedua, mulai muncul kesadaran mengenai arti pentingnya pendidikan bagi bangsa. Itu adalah faktor penting, namun sering diremehkan. Yang perlu diingat, gerakan kemerdekaan sebelum 1900-an mengalami kegagalan, selain karena gerakannnya masih bersifat lokal, dikarenakan lemahnya SDM akibat pembodohan yang dilakukan secara sistemik oleh Belanda. Berbeda dengan gerakan kemerdekaan setelah 1900-an yang mulai memperhatikan pendidikan rakyat sebagai faktor penting peningkatan kualitas SDM oleh para pejuang kemerdekaan.
Namun, dengan semakin meningkatnya pengetahuan rakyat. kemerdekaan menjadi lebih mudah diperoleh. Ingat, Indonesia memperoleh kedaulatan penuh tak hanya karena perlawanan bersenjata, tapi karena kita telah memiliki kaum terpelajar yang menjadi diplomat ulung sehingga mendapatkan pengakuan kedaulatan dunia internasional. Jika tidak, kita mungkin akan seperti negara-negara kecil di Afrika yang memperoleh kedaulatannya sekitar sepuluh tahun kemudian.
Kalau kita kaitkan dengn realita sekarang,akan terlihat dua hal yang paradoks. Sekarang jumlah universitas sudah sangat banyak, tentunya sudah sangat cukup untuk mencetak intelektual muda yang progresif jika dibandingkan dengan pendidikan dahulu pada saat budi utomo berjuang. Tapi kondisi saat ini sungguh jauh dari seharusnya, ratusan universitas yang ada di Indonesia belum bisa membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Atau bisa kita katakan kaum intelektual yang berada di kampus-kampus Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya. Benar apa yang dikatakn Antonio Gramscy, banyak kaum intelektual, tapi banyak pul yang belum menyadari fungsi intelektulnya. Mahasiswalah disini yang memiliki beban moral, karena dalam masyarakatnya mahasiswa yang memiliki strata pendidikan tertinggi.
KENAPA MAHASISWA?
Kenapa mahasiswa selalu menjadi aktor penting dalam setiap perubahan bangsa? Tak lain karena mahasiswa memiliki sifat mendasar dan jatidiri yang unik. Sifat mendasar mahasiswa terletak pada jiwa mudanya yang idealis, dinamis, kreatif, antikemapanan, serta resah terhadap ketidakberesan. Sifat mendasar ini sinergis dengan jatidiri mahasiswa sebagai anak didik dan anak bangsa.
Sebagai anak didik, mahasiswa harus tekun belajar, rajin membaca, berpikir dan berdiskusi, suka meneliti, serta aktif dalam banyak forum ilmiah, sehingga menguasai disiplin ilmunya dan berwawasan luas. Namun jiwa mudanya protes dan memberontak begitu melihat kenyataan di masyarakat tak sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
Apalagi mahasiswa juga anak bangsa, yang harus peduli terhadap nasib bangsanya. Mahasiswa sejati akan selalu resah bila melihat kezaliman dan ketidakadilan. Karena itulah, mahasiswa sampai kapan pun akan selalu menjadi pemain penting dalam setiap perubahan masyarakat.
Banyak fakta menyebutkan, setiap momentum perubahan di berbagai belahan dunia selalu menempatkan mahasiswa sebagai sumber energi, pelaku dan pendukung utama. Sebut saja, Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol 1936, Revolusi Hongaria 1919 dan 1956, Revolusi China 1925-1927, Revolusi Aljazair 1954, Revolusi Turki 1960, Revolusi Korea Selatan 1960, Revolusi Yunani 1965, Revolusi Portugal 1974, hingga Revolusi Islam Iran 1979, semuanya melibatkan partisipasi aktif mahasiswa, baik sebagai penggagas, perekayasa, aktor atau sekadar penyokongnya. Fakta sejarah inilah yang menjadikan mahasiswa sering dijuluki sebagai agent of change (agen perubahan) atau motor kebangkitan
Begitu pula di Indonesia, seperti kelahiran Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kemunculan Orde Baru 1966, serta Reformasi Mei 1998, semuanya dimotori oleh mahasiswa.
MENJADI PAHLAWAN
Di masa pembangunan iniTuan hidup kmbal
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali
Pedang dikanan, keris dikiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Demikianlah chairil anwar mengungkapkan kerinduannya kepada pengeran diponegoro melalui puisinya yang berjudul Diponegoro. Wajar jika chairil anwar merindukan seorang pahlawan, karena pada saat itu, tahun 1943, merupakan puncak krisis akibat kolonialisme yang menancap di Indonesia selama berabad-abad.
Bencana alam, kemiskinan, kelaparan, korupsi, segala krisis yang terjadi di ndonesia saat ini, membuat banyak orang merindukan hadirnya sosok pahlawan. Pahlawan yang memberikan harapan untuk keluar dari segala krisis yang melanda bangsa ini. Pahlawan yang tangguh, tetap tegar walaupun musuh lebih besar, lebih kuat darinya. Pahlawan yang memiliki semangat idealisme yang tak bisa mati.
Wahai teman-teman mahasiswa. Saya ingin mengajak teman-teman untuk menjadi pahlawan itu. Siapa lagi kalau bukan kita? Yang saya maksud pahlawan disini bukanlah seperti Diponegoro, atau pahlawan nasional lainnya, tetapi lebih kepada hakikat kepahlawanan itu sendiri. Pahlawan disini adalah seseorang ikut berpartisipasi dalam proyek perbaikan bangsa. Kemudian seseorang itu berafiliasi pada komunitas yang memliki semangat ingin mengubah bangsa kearah yang lebih baik, hal ini merupakan keniscayaan, kalau seseorang itu benar-benar ingin berkontribusi nyata, karena begitu kompleksnya masalah bangsa ini. Sehingga barulah seseorang tadi akan punya kontribusi nyata bagi bangsa ini.
Wahai teman-teman mahasiswa. Cobalah perhatikan kondisi sekitar kita. Anak umur 11 tahun terkena gizi buruk, keluarganya tidak sanggup membawanya kedokter, antrean pembelian gas yang sangat panjang, harga BBM melonjak naik, kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, konflik internal partai yang seharusnya membawa amanah rakyat, anggota DPR yang korupsi, sampai kasus ahmadiah yang meresahkan. Cobalah sadari posisi kita. Kita adalah pemuda, yang akan menggantikan generasi tua di Indonesia. Kita adalah pemuda , yang sepuluh orang saja dari kita-kata soekarno- bias mengubah Negara. Kita adalah pemuda, yang memiliki semangat dan konsisensi idealisme yang tinggi. Kita adalah mahasiswa, yang memiliki strata pendidikan tertinggi dlam masyarakat kita. Dan lebih dari itu semua, kita adalah makhluk Allah, yang diberikan tugas untuk senantiasa melakukan perbaikan dan mengelola dunia. Dan pada akhirnya cobalah renungi-kemudian lakukan- apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa kita.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar