VISI BEM FMIPA 2012

08 Maret 2011

Aktifis Menggugat

Socrates pernah berkata, “ Cara terdekat menuju kejayaan adalah berusaha keras untuk menjadi apa yang kau inginkan dan apa yang kau pikirkan”.
Pemahaman yang kita gunakan sekarang bukan konsep menuju “kejayaan” tetapi lebih kita fokuskan kepada “tujuan” untuk kebaikan kita bersama. Memang pencermatan kita adalah berusaha keras menjadi apa yang kita inginkan dan apa yang kita pikirkan dengan tidak mengesampingkan kepentingan orang lain. Namun sebenarnya disinilah letak kerancuan itu, antara “fokus pada tujuan dan tidak mengesampingkan kepentingan orang lain”.

Sekarang kita masuk dalam ranah dunia kita, kampus. Kita tidak memungkiri bahwa tujuan kita kuliah adalah menuntut ilmu dan mendapatkan nilai “IP” setinggi-tingginya. No problem! Tapi tidakkah kita sadar yang disebut “mahasiswa” juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam gerak masalah sosial politik yang mengikuti kebijakan penguasa. Penguasa baik di tingkat pemerintahan pusat sampai pada pemerintahan minimalis yang ada di kampus, birokrat kampus. Bukanlah suatu perbuatan bijak jika kita sebagai tokoh tersebut hanya tersapu manyun mengikuti kebijakan yang kadang tidak relevan dengan apa yang “seharusnya”. Mengapa “saya” tidak menggunakan kata “sebaiknya” malah menggunakan kata “seharusnya”? Jawabannya simple saja, karena definisi “baik” itu tidak dapat disamaratakan antarpandangan orang jika sudah terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan pribadi.

Di sisi lain, kebiasan kita menyerahkan suatu urusan kepada orang lain juga berdampak yang kurang baik. Seperti halnya pada persoalan ini. Saat suatu kebijakan dikeluarkan, kita hanya bisa menerima tanpa ada usaha untuk mengkritisi kebijakan tersebut. Kalau kebijakannya menguntungkan, bukan masalah. Tapi jika kebijakan yang dikeluarkan tidaklah menguntungkan bagi mahasiswa pastilah akan ada rasa keterpaksaan dalam menjalankan kebijakan itu. Paling-paling dilampiaskan pada bentuk cemooh dalam hati atau bahkan mencemooh subjek yang dianggap seharusnya tanggap pada kebijakan ini, siapa lagi kalau bukan aktivis. Aktivis digunakan sebagai pelampiasan yang empuk untuk membendung kekecawaan itu.

Lalu dimana peran kita sebagai mahasiswa jika kita hanya tinggal diam? Dimana letak nasionalisme yang sering digembor-gemborkan setiap tanggal 20 Mei ? Akankah bangsa yang dikatakan telah bangkit sejak 1908 bisa memberi kecermelangan harapan rakyatnya, menafkahi setiap jiwa bangsanya, mencerdaskan setiap otak yang berpikir, dan meletakkan pilar-pilar perdamaian di atasnya? Bangsa yang dirundung bencana itu akan bangkit, sekali lagi, bangsa yang dirundung bencana itu akan bangkit, jika setiap jiwa, pemuda, mahasiswa, mau mencurahkan perhatian atas kebaikan dirinya, keluarganya, instansinya, daerahnya, dan bangsanya. (aliandr4@yahoo.com)


(diambil dari miniMagz GERAK edisi pertama)

Tidak ada komentar: